Selagi Masih Bisa

Tak ada yang lesu ketika memasuki kelas dosen senior itu. Tentu dikarenakan kelas sang dosen senior, selalu diselingi humor cerah menyegarkan. Humor tersebut begitu cerah sehingga serasa menjentik tiap kelopak mata mahasiswa. Satu mahasiswa merasa intermeso seperti ini perlu agar pola belajar tidak monoton. Mahasiswa lain merasa si dosen senior sengaja menyelipkan humor tersebut agar menjadi barrier  antara alam nyata dan mimpi. Bahkan ada pula yang menganggap humor itulah materi utama kuliah hari itu, sedangkan materi kuliah yang sebenarnya hanya omong kosong. Mari kita berdoa agar dibukakan pintu hati mahasiswa terakhir ini.

Tetapi tidak. Tidak ada humor pada kelas hari ini. Sang dosen senior mendapati kabar duka sesaat menjelang masuk kelas kuliah. Katanya ibunya baru saja meninggal dunia. Kejadiannya begitu tiba-tiba sehingga ia merasa gamang dan memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya seakan itu tidak pernah terjadi. Ia kemudian mengajar dan mengajar. Namun dering telepon mahasiswa di tengah kelas mengingatkannya kembali akan dering telpon pengantar kabar buruk sebelum masuk kelas tadi.

Ia lalu mulai mengisahkan pembicaraan telpon itu dan betapa ia menyayangi ibunya. Ia mengatakan betapa ia menyesal tak dapat berada di samping ibunya saat akhir meregang nyawa. Lalu katanya…

“Akan tiba saatnya di mana nanti semua yang duduk di kelas ini memiliki pendapatan sendiri yang layak. Sehingga nanti tak ada lagi istilah ‘kiriman telat’ dan kalian akan sangat bersyukur karena akhirnya uang yang kalian dapatkan merupakan hasil jerih payah sendiri. Saat itu kalian sudah tersenyum melihat warteg di pinggir jalan, tidak lagi dengan ekspresi normal saat kalian mendatanginya siang nanti. Mungkin kalian tersenyum teringat betapa seringnya kalian makan di tempat seperti itu dulu dan sekarang tak pernah lagi. Dan di saat yang bersamaan, akan muncul perasaan balas budi yang amat teramat kuat terhadap ayah-ibu, yang karena ada uang merekalah kalian dapat datang ke warteg tersebut. Perasaan balas budi itu akan dengan mudah diwujudkan dengan kemampuan kalian nanti. Lalu pertanyaannya. Apa memang harus menunggu nanti untuk berbuat demikian?

Kalian dapat melakukannya sekarang. Detik ini bahkan. Melakukan hal yang tidak saya lakukan dulu sewaktu saya muda. Melakukan sesuatu yang tidak lagi dapat saya lakukan sekarang karena sudah tidak bisa. Ayah dan ibumu. Balaslah. Selagi masih bisa.”

16 thoughts on “Selagi Masih Bisa

  1. Ini cerpen apa kejadian betulan di kampus? Habisnya terkesan nyata banget, euy. Jadi kebayang-bayang warteg, kan. Eh meskipun saya sudah bekerja, tapi setiap hari masih makan di warteg sih, haha. Hemat, euy.
    Iya, berbuat baik jangan ditunda-tunda. Apalagi dengan orang tua yang sudah sangat berperan sampai kita jadi seperti sekarang. Doh, ini jadi pengingat juga bagi saya untuk selalu ingat dengan orang tua. Terima kasih, ya.

    Like

    1. Cerpen bang. Fiksi aja. Cuma memang terinspirasi dari kenyataan.
      Untuk warteg, saya yakin selama saya masih membujang tetap akan jadi pengunjung setia warteg haha. Hemat dan banyak pilihan.
      Kehadiran orang tua memang kental bagi hampir setiap dari kita. Semoga senantiasa kita mengingat mereka, saat susah dan senang

      Like

      1. Sempat *wink
        Saran saja sih. Kamu bisa atur ulang bagian menu Profil kamu agar ketika nama kamu diklik bisa langsung menuju ke alamat blog kamu. Jadi orang lain yang ingin terhubung nggak kesulitan mencari di mana blog kamu. Aturnya bisa lewat klik ikon profil kamu (yang di pojok kanan atas, sebelah kirinya Notification) lalu pilih My Profile. Profil linknya bisa kamu update jadi alamat blog kamu yang sekarang ini 🙂 *wink

        Like

Leave a comment