Irsyadi Hanan: Pesona

Saya agak heran dengan Hanan. Dia punya pesona yang mungkin luput dari mata orang tuanya. Semacam medan magnet, yang membuat orang tertarik dengan Hanan. Saya merasa Hanan lebih digemari tetangga ketimbang anak-anak lain. Seringkali tetangga atau orang sekitar rumah kami mencari Hanan kalau tidak tampak sepaket dengan kakaknya.

Mungkin karena ia tampan. Ya iya lah tampan, kan mirip bapaknya. Tapi selain ketampanannya itu, ada sesuatu yang berbeda. Ekspresif? Tidak juga. Memang senyumnya manis, tapi Hanan tidak bisa dibilang ekspresif. Di luar rumah, ia lebih sering berwajah datar. Cenderung pendiam. Haura bahkan sering bertanya, “Hanan kok diem terus bah?” saking diamnya ia. Tingkah laku Hanan pun bukan yang aktif ke sana kemari. Anak yang biasanya cuma muncul mengekor di belakang Haura.

Entahlah apa itu. Barangkali hanya karena kecil dan menggemaskan, tapi saya punya feeling Hanan memiliki bakat untuk disukai orang-orang. Cukup dengan menjadi seorang Hanan. Tidak kurang, tidak lebih

Rumah Kontrak Kami Dulu di Daik Lingga

Saat saya memback-up foto di hape, saya menemukan sekumpulan foto rumah kontrak kami di Daik Lingga dulu seama 2020-2021. Dulu kami memfoto rumah kontrak ini karena ingin pindah ke Batam, sedangkan posisinya kami sudah bayar kontrak selama 6 bulan ke depan. Jadi ceritanya difoto untuk dipost di facebook atau whatsapp. Cari orang yang mau menyambung rumah kontrak kami sekaligus menambal uang yang sudah dibayarkan. Setelah dilihat lagi, ternyata rumah kontrak kami cukup luas. Mungkin lebih luas dari rumah yang kami tinggali sekarang huhu.

Selain lebih luas, lebih terang juga karena lebih banyak jendela dan ventilasi (sesuatu yang saya impikan tentang rumah). Tanah di depan rumah kontrak kami masih kosong. Bahkan nggak hanya kosong, masih ada semak belukar menjelma hutan yang hingga terakhir kami di sana masih jadi tempat lutung dan monyet nongkrong. Yang paling saya senangi dari rumah kontrak kami adalah suasana sepinya. Sepi, jarang terdengar suara lain kecuali motor yang lewat, itupun cuma sesekali.

Katanya sekarang di sana sudah semakin ramai rumah kontrak yang berdempetan. Mungkin memang kami pindah di saat yang tepat.

Pemeran Pembantu dan Pemeran Utama

Sesekali aku merenungkan sekaligus memposisikan diri sebagai pemeran pembantu dalam hidupmu.

Sidekick. Hatta untuk Soekarno, Watson untuk Holmes.

Dan tentu saja kau Soekarno dan Holmes-nya. Sang pemeran utama

Lalu ketika itu kulakukan, ada rasa bahagia menyeruak.

Kadang menggelitik bahkan.

Karena kupikir, alasannya masih sama seperti dulu.

Saat kukatakan aku ingin mempelajarimu sedekat mungkin, seumur hidup.

Hasil IELTS Saya Sudah Keluar! – Diary 2024 #5

Dan oh betapa senangnya. Hasilnya di atas ekspektasi.

Karena terakhir kali ikut tes IELTS yang mock-up, hasilnya kacau balau. Bahkan writingnya 5.5. Wajar saya khawatir menjelang tes IELTS yang terakhir ini. Ditambah lagi tidak hanya mesti melewati batas band 6, ada faktor tinggi-tinggian nilai. Makanya target nilai yang saya patok cukup 6.5. Untuk orang yang jarang belajar dan mayoritas menonton IELTS Advantage di Youtube, menurut saya itu sudah cukup baik. Oh ya, perlu saya sebutkan Rafif juga punya peran. Sarannya tentang IELTS sangatlah membantu.

Speaking saya sudah tertebak. Sudah pasti menjadi yang paling rendah. Pada hari tes, saya cukup gugup. Lebih gugup lagi ketika nama saya yang ternyata dipanggil pertama untuk speaking. Baru aja keluar WC, tiba-tiba nama dipanggil, lalu 1 menit berikutnya, saya sudah berhadapan dengan native speaker (Mr. Ian Gordon kalo nggak salah). Dengan ruangan yang cukup panas, rasa gugup dan vocab yang terbatas berhasil membuat saya berpikir speaking saya hancur lebur. Sudah pasrah rasanya kalau dapat 6 atau mungkin 5.5. Tetapi ternyata tidak. Lebih dari yang diharapkan. Saya rasa si penilai terlalu baik atau merasa kasian ke saya.

Listening saya cukup pede. Audio kemarin sudah super jelas dan materi yang dibincangkan masih bisa saya pahami konteksnya. Jadi mendapat nilai segitu bisa dibilang sesuai ekspektasi. Untuk reading, dari 4 parts, dua parts terakhir menurut saya levelnya sulit. Harus dibaca berkali-kali, itu pun tak kunjung paham. Terkhusus tulisan tentang sistem pendidikan SAGE dan STAR itu. Yang membuat sulit, pertanyaan dari writing di dua parts terakhir itu adalah jawaban yang saling terhubung. Kalau salah satu, bisa jadi jawaban di pertanyaan lain ikut salah. Jadi memang tidak-tinggi-tinggi, ekspektasi saya cuma dapat 7. Lalu untuk writing, saya memang puas dengan apa yang saya tulis di hari-H. Sepertinya sudah semaksimal yang saya bisa. Karena sudah dioptimalkan, nothing to lose. Saya ingat saya masih ada sisa waktu 2 menit ketika saya selesai menulis task 2 (tentang peran sekolah tentang larangan junk food), yang ternyata sangat tidak cukup untuk mengoreksi tulisan dalam sisa waktu 2 menit itu. Akhirnya essay saya yang lebih 50 kata itu saya biarkan begitu saja. Saya sudah sangat puas dengan nilai 7.

Saya harap nilai ini akan membantu saya untuk lolos dan masuk ke dalam shortlist akhir. Mohon doanya kawan-kawan pembaca!

Naik Pesawat Garuda Lagi

Saya tidak ingat pasti kapan terakhir kali saya naik pesawat garuda. Tahun 2018 apa ya? Entah kapan pun itu, kalau saya naik Garuda, itu pasti bukan karena uang pribadi saya. Sayang. Lebih baik ambil maskapai yang lebih ramah kantong, lalu uangnya dipakai untuk oleh-oleh atau lainnya.

Nah. Per hari ini saya mau berangkat ke Jakarta dengan Garuda. Yaktul, tentunya karena dibayarin. Namun kali ini, saya bisa sedikit mengerti ke mana larinya uang tiket yang lebih mahal itu.

Antreannya rapi. Untuk masuk pesawat, hanya penumpang dengan nomor tertentu saja yang dibolehkan masuk pesawat. Biasanya dari nomor paling besar dulu atau 10 nomor kursi terakhir. Pun sewaktu masuk ke pesawat, tersedia permen yang bisa diambil di pintu masuk. Awalnya saya pikir hanya pemanis. Baru tersadar sewaktu ketinggian 30.000 kaki kalau permen itu bisa berfungsi untuk penurun kedap telinga. Selain itu, kami juga dapat makan siang. Porsinya pas dan rasanya cukup enak. Ukuran tempat makan dan packagingnya oke. Tetapi yang paling membuat saya kagum, lauk ayamnya tidak ada tulang sama sekali. Hal yang sepertinya sudah dipertimbangkan kalau makan di pesawat pasti ribet kalau banyak tulang atau sampah makanan. Garuda tidak cuma kasih makan berat, tetapi juga makanan ringan berupa biskuit dan kacang campur. Oh ya, tak lupa juga saya sebutkan ada fasilitas entertainment dalam bentuk layar kecil yang berisi musik dan film yang bisa didengarkan via headphone. Lumayan efektif membunuh waktu.

Awalnya saya banyak terkesimanya dengan pengalaman naik garuda. Tetapi nggak sedikit juga yang membuat saya mengernyit. Pertama mungkin soal tempat duduk. Bagi saya terlalu sempit. Depan, belakang, samping, rasanya terlalu sesak. Mungkin selevel atau lebih parah dari maskapai merah itu. Yah, memang saya memilih pesawat dan kelas ekonomi, tapi kelas ekonomi yang lain masih saya temukan memiliki kursi lebih lega. Lalu AC juga rada payah. Hampir tidak berasa. Saya mencoba berulang kalo mengutak-atik AC, namun tidak ada yang berubah. Barangkali memang sengaja disetting hemat energi.

Dengan plus-minus yang ada, sekali lagi, dapat saya pahami mengapa Garuda bisa memiliki harga tiket lebih mahal. Tentu pengalaman saya tidak bisa digeneralisir untuk semua penerbangan Garuda. Tetapi setelah merasakan naik Garuda lagi, saya pikir naik pesawat kelas ekonomi lain tidaklah terlalu buruk. Terlebih untuk penerbangan yang hanya memakan waktu satu jam-an

Tegar Demi yang Ditinggalkan

Saya baru saja mengunjungi rumah keluarga. Om saya. Ia meninggal sehari sebelum ramadhan dan kebetulan baru sekarang saya bisa berkunjung ke kotanya. Ketika sampai, yang ada di rumah adalah istri almarhum, atau tante saya. Kami berbicara ngalor ngidul tentang mendiang semasa hidup. Pembicaraan yang sebenarnya bisa saja menyedihkan, tetapi dibawa dengan aura positif. Seakan menceritakan pengalaman menyenangkan. Sepulang dari sana, tiba-tiba muncullah sebuah renungan.

Saya sudah beberapa kali berkunjung ke rumah orang yang baru saja meninggal. Dan setelah mencoba mengingat-ngingat kembali, belum pernah saya bertemu orang yang baru kehilangan orang terdekatnya meninggal dunia, lalu ia bercerita bagian sedih-sedihnya saja, lalu menangis. Selalu dan selalu orang yang saya temui mengambil sikap tegar atas kepergian orang tercintanya. Meski saya tahu, selain harus tegar karena tidak ingin orang lain yang melihat jadi terdampak atau jadi ikut sedih, ia harus tetap kuat. Kelihatan kuat demi orang tercinta lainnya yang masih hidup. Mungkin baru ketika sendiri ia merasa sedih mendalam. Baru sedih ketika memori tentang mendiang meluap-luap, yang biasanya muncul ketika sedang sendiri dan tidak perlu menjaga imej di depan orang lain.

Untuk orang-orang yang baru ditinggalkan orang terkasihnya,

Tidak mengapa.
Hidup terus berjalan untuk mereka yang belum mati.
Bersedih dan menangis itu wajar, dilihat orang atau tidak.
Kalian kuat. Kita kuat.

Membanding-bandingkan

Saya terkadang lupa bahwa banyak hal yang lebih baik tidak dibandingkan. Hampir semua hal, mungkin, baiknya tidak dibandingkan. Perlakuan keluarga, take home pay, dan lainnya. Semakin direnungkan adanya perbedaan akibat pembandingan itu, rasanya semakin saya tidak bersyukur.

Tidak membandingkan.

Sepertinya memang selalu gampang di lidah

Deadline Beres-beres Rumah – Diary 2024 #4

Dulu suka heran sama Abah. Malam takbiran bukannya keluar rumah, merasakan gegap gempita takbir seluruh alam, malah mendem beberes rumah. Gosok-gosok jendela lah, siram-siram teras lah, ngepel sampai tengah malam lah. Ada aja yang dikerjain sampai begadang malam takbiran.

Sekarang saya merasakannya. Ngepel tengah malam. Ternyata semua terjadi karena deadline beres beres rumah sudah jatuh tempo.

Takbir mengumandang, saat itulah kegiatan beberes rumah sampai pada tenggat waktunya…

Oh tapi saya sedikit berbeda dengan Abah. Ba’da isya tadi sampai jam 9, masih sempat ikut pawai takbiran bareng Haura Hanan. Yaah, mungkin itu juga penyebabnya kegiatan beres2 semakin mepet deadline hmm

Selamat idulfitri, wahai pembaca yang budiman/wati! Taqabbalallahu minna wa minkum!

Lewat Jalan-jalan, Meluaslah Kalian Perspektif!

Broad, wholesome, charitable views of men and things can not be acquired by vegetating in one little corner of the earth all one’s lifetime

Mark Twain

Satu quote bagus dari Mark Twain. Quote ini, bersama kata-kata dari Imam Syafi’i, sempat memotivasi saya untuk pergi melihat dunia. Memang keluarannya tidak sesignifikan itu. Saya belum berkeliling dunia, tidak maniak travelling, dan masih mageran. Tetapi untuk meresapi kalimat ini, menyadarkan saya bahwa jalan-jalan punya makna lebih berarti dari sekadar jalan-jalan.

Pemilu 2024 Harus Dikawal dari Kertas ke Komputer

Bicara tentang pemilu, salah satu faktor yang menentukan dalam penentuan hasil pemilu adalah proses digitalisasi hasil perolehan suara. Dari kertas, menjadi angka yang tercatat di komputer. Mau berbusa-busa kampanye tetapi kertas suara dimanipulasi angka digitalnya ya mohon maaf. Percuma.

Karena saya pengalamannya sebatas hasil survei/sensus kantor, di kami, ada sistem pemeriksaan manual yang memastikan hasil entrian dari kertas ke komputer adalah konsisten. Ada petugas yang mencoret apabila hasil penulisan di komputer tidak sesuai dengan kertas. Itu cara manualnya. Cara otomatis juga ada lewat rule validasi. Jadi dalam aplikasi entri tempat kita mengetik sudah ada aturannya. Semisal di kolom A nilai maksimal yang bisa masuk hanya sebatas 300 dan seterusnya dan seterusnya. Kenapa cara-cara ini diadakan? Tujuan utamanya untuk menjaga kualitas data. Lainnya? Untuk meminimalisir adanya manipulasi. Karena bagaimanapun, kecenderungan manipulasi hasil pendataan itu pasti ada.

Nah, sekarang bicara hasil pemilu. Karena yang terlibat amat banyak, baik dari pendukung paslon, spektator ahli, maupun juga pemerintah, potensi kecurangan sudah pasti ada. Kita sudah lihat hasil putusan MK akhir tahun lalu yang secara kilat bisa mengubah banyak hal. Bisa jamin pemilu di hari H tidak ada kecurangan? Untuk itu ada Bawaslu, saksi dari partai, dan lain-lain. Salah satunya untuk memastikan digitalisasi hasil perolehan suara sudah real dan sesuai.

Namun nyatanya, sudah luas beredar ketidaksesuaian perolehan suara antara kertas suara dan rekapitulasi penghitungan di komputer/web ada. Lah total pemilih di TPS A ada 300 pemilih hasil rekapituasli bisa menunjukkan 600an suara itu gimana ceritanya. Bahkan tidak terjadi di satu TPS saja. Kalau sedikit mungkin mending ya, bisa dilacak dan ditindaklanjut petugas yang bersangkutan di TPS itu. Ini banyak broo. Dan tidak mencakup 01 saja, atau 02 saja, atau 03 saja yang melakukan kecurangan. Semua paslon sudah ada yang membuktikan kecurangan yang dilakukan.

Kalau sudah begini mau menyalahkan siapa coba? Dari sistem saja memberi celah kecurangan.