Bermula dari Fakhri

Tubuh Algifari yang tinggi menjulang perlahan merendah seiring ia mengambil kursi untuk duduk. Sementara aku sudah duduk di samping kursi yang diambilnya tadi, memelototi layar handphone yang berisi sedikit catatan mengenai pembahasan kajian pra nikah tempo hari.

“Ngeliat apa?”

“Nggak ri. Ini ada sedikit catatan tentang kajian pra nikah kemarin. Dateng kemarin?”

“Nggak dateng. Nggak bisa. Kalau kamu nggak heranlah ya dateng hahaha”, Algifari tertawa lepas

“Apanya yang nggak heran…”

Sebagai satu2nya teman magang laki-laki di ruangan, Algifari seringkali menjelma menjadi satu teman diskusi untukku. Tema bahasannya selalu yang ringan, seperti bagaimana ia menjelaskan kenapa Klaue dibunuh oleh Killmonger dalam Black Panther. Atau sekadar perdebatan nirfaedah tentang mana yang lebih banyak, perempuan yang makan bubur ayam diaduk atau nggak sekaligus menganalisis kepribadian mereka berdasarkan pilihan itu. Namun kali ini, bahasan kami setingkat lebih penting. Tentang kawin.

“Nikah…”, Algifari mengoreksi

“Iya. Nikah ri. Makasih”

“Sama-sama. Karena nikah dan kawin beda banget.”

Pandanganku kembali teralihkan ke handphone kecil milikku, ke catatan-catatan kecil kajian kemarin. Setelah kubaca ulang, bisa dibilang apa yang kucatat tidak ada isinya. Racauan semata.

“Coba dengar ri,” kataku membacakan apa yang kutulis, “nikah itu bukan perihal cepet-cepetan, tapi lama-lamaan. Lama-lamaan langgengnya maksudnya”

“Hahaha. Mantap. Ingat banget kemarin dibilang gini. Apa lagi apa lagi?

“Mencintai itu lebih ke ‘walaupun’, bukan ‘karena'”

“Dalem men… Terus?”

“Bentar…. nih ada nih. Ternyata ri, dari sisi perempuan pun sebenarnya boleh meminta agar ia dilamar oleh si laki-laki. Jadi ternyata sah-sah aja si Chelsea Islan teriak, ‘nikahi aku, Fakhri’ ke Fedi Nuril. Baru tau aku. Kukira perempuan nggak boleh minta dilamar. Mungkin kalimat ‘nikahi aku~’ bakal diucapin sebagai senjata terakhir kali ya. Kalau kode-kode yang dikirimkan tak tertangkap sinyal laki-laki.”

“Ah itu mah aku udah tau. Permasalahannya bukan di situ…”

“Terus?”

“Permasalahannya,” lanjut Algifari serius, “Bagaimana kita bisa membuat kaum perempuan mengucapkan kalimat itu ke kita, tanpa harus kita lamar duluan. Kalimat sejenis, ‘nikahi aku algifari!’ “

“Mana mungkin ri. Kita bukan Aa Fakhri. HAHAHAHA!”

“Iya juga ya. HAHAHAHA!”

“HAHAHA!”

“HAHAHA”

“HAHA…”

“HA….”

Seiring helaan napas panjang kami, kami lalu sama-sama termenung lama, merenungi, meresapi pahitnya kenyataan.

“Yuk sadar yuk!”, ajakku

6 thoughts on “Bermula dari Fakhri

Leave a comment