Pra Lahir

Sejujurnya enggan menulis ini. Hm.. tapi yasudahlah. Sudah terlanjur. Hitung-hitung membuat mesin waktu. Baca jika ada waktu. Baca jika tak ada lagi kegiatan yang berguna. Dan terkhusus untuk saya, baca ini ketika ingin berjalan kembali ke masa lalu. Semoga saja 10 tahun sampai 15 tahun yang akan datang wordpress tetap ada, supaya mudah berkunjung ke sini lagi.

Tahun-tahun itu di Jakarta

Seorang laki-laki di Jakarta baru saja menyelesaikan pendidikan STM nya. Ia tidak ingin kuliah pun tidak ingin belajar lagi. Ia ingin suatu pekerjaan yang “laki”, sesuatu yang benar-benar menggambarkan dirinya. Ia ingin menjadi polisi. Namun apa daya. Menjadi polisi membutuhkan uang lebih banyak dari yang ia duga. Pada akhirnya seragam cokelat polisi tinggallah angan. Ia kemudian memutuskan gunung sebagai tempat pelarian. Minggu ke minggu ia habiskan menaklukkan gunung hingga akhirnya kedua orang tuanya, yang sebelumnya memohon maaf karena tidak bisa menjadikannya polisi, cemas. Maka mereka menyarankan si laki-laki itu untuk ikut seorang paman untuk merantau ke sebuah pulau kecil bernama Batam. Satu pulau yang digadang-gadang menjanjikan banyak kesempatan. Namun Si laki-laki enggan. Seumur hidup ia sudah di Jakarta dan berencana untuk berada di ibukota selamanya. Lagipula, tak pernah ia mendengar nama Batam. Di peta saja tak tampak. Ia yakin tidak ada apa-apa di sana.

Ibunya kemudian masuk ke kamarnya. Berdialog empat mata, mengisahkan sepotong kisah keluarganya yang intinya tentang riwayat keluarga mereka yang juga perantau hingga akhirnya tiba di Jakara. Ibunya memohon untuk mempertimbangkan pilihan Batamnya. Entah bagaimana, si laki-laki takluk. Ia menyetujui saran kedua orang tuanya untuk mengikuti kerabat. Merantau ke Batam.

Tahun-tahun itu di Belakangpadang

Lalu kita beralih ke seorang perempuan di Pulau Belakang Padang, satu pulau kecil di utara Batam. Ia baru saja menyelesaikan masa SMA dan kini sedang menetap di rumah. Ia memutuskan untuk tidak kuliah, tidak seperti teman-temannya di Tanjungpinang sana yang kebanyakan mengejar pendidikan lanjutan. Teman-temannya pun bingung. Yang mereka tahu si perempuan ini cukup pintar untuk menduduki bangku kuliah. Tetapi entah kenapa si perempuan mantap dengan pilihannya. Tidak sekolah lagi, tinggal di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah sebanyak yang bisa, atau membuat kue untuk menjualnya di pasar bawah. Apa alasan dari tindakannya? Entahlah. Penulis pun tak tahu

Pada saat itu Belakangpadang adalah pusat pemerintahan Batam, pulau yang hangat menjadi pembicaraan karena ketertarikan banyak perusahaan asing. Si perempuan sendiri cukup puas dengan tinggal di Belakangpadang karena statusnya itu. Banyak orang-orang baru tak dikenalnya kerap mengunjungi Belakangpadang demi mengurus tanah atau usaha perizinan lainnya. Belakangpadang mendadak ikut terkenal. Lambat laun, percepatan pembangunan Batam tak tertandingi. Belakangpadang, yang dulu menjadi semacam ibukota bagi Batam, jauh tertinggal. Ini membawa ketertarikan bagi si perempuan untuk pergi ke Batam. Hidup sendiri, digaji, lalu dibawa pulang ke ibunya seminggu atau sebulan sekali. Lagipula, sudah empat tahun ia tinggal di rumah. Bukan sesuatu yang bagus bagi perempuan sepertinya di masa itu. Akhirnya,  dengan bermodal ijazah SMA, keterampilan membuat kue basah, serta sedikit kemampuan menjahit, ia menyebrang ke Batam. Mencari penghidupan lebih baik di tanah pengharapan.

Si Laki-laki dan Si Perempuan Bertemu

Bukan hanya bagi si laki-laki dan si perempuan. Pesona Batam sebagai lahan hidup baru terus memancar, menyulut perhatian ribuan orang lainnya. Mulai dari pesisir di Sumatera hingga desa-desa di pelosok Jawa. Bahkan beberapa tahun setelah dibuka, kota kecil itu masih saja membangun dengan kecepatan tinggi. Area huni, industri, perkantoran, pasar, serta hotel-restoran terus menerus dibangun di tempat yang dulunya rawa-rawa dan hutan. Bersamaan dengan itu orang-orang muda yang ingin memulai hidup beramai-ramai menginjakkan kakinya ke pulau itu.

Si perempuan sudah menahun kenal dengan Batam. Perjalanan pulang pergi Belakangpadang-Batam dalam sebulan sudah rutin ia lakukan. Sudah banyak pula kursus dan bidang pekerjaan yang ia coba, hingga akhirnya ia sampai di suatu perusahaan konveksi di pinggiran Batam. Perusahaan baju milik orang Singapur yang kerap disebut dengan hanya “Busana”. Di sana, ia bekerja di balik meja bersenjatakan kalkulator. Tugasnya mencatat pengeluaran dan pemasukan terkait bahan-bahan yang digunakan perusahaannya

Tak lama setelah si perempuan, kisah si laki-laki di Batam pun dimulai. Ia akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan bantuan pamannya. Suatu pekerjaan di perusahaan konveksi bernama Busana. Perusahaan yang sama dengan si perempuan.

Namun berbeda dengan si perempuan, si laki-laki dianugerahi pekerjaan kasar, sesuai dengan perawakannya yang tinggi dan kokoh. Suatu pekerjaan yang dinamakan staf gudang. Pekerjaan itu tentu berbeda dengan harapannya. Mungkin masih ada sisa-sisa “laki” dalam pekerjaan barunya ini, namun tetap saja bukan seperti yang ia inginkan. Terlebih, ia berada di antah berantah pulau Batam. Di pinggiran pulau, masih dikelilingi hutan. Segala kemudahan ibukota ia tinggalkan hanya demi ini? Ada perasaan tak betah menjalani saat-saat pertamanya di Batam.

Selalu ada yang bisa disyukuri. Setidaknya si laki-laki punya pekerjaan. Ia dapat mencari makan dari keringat sendiri, bahkan masih bisa ia sisihkan gaji pertamanya untuk dibawa ke ibunya ke Jakarta jika pulang nanti. Semua sudah terencana.

Busana merupakan kumpulan dari karyawan angkatan kerja baru. Artinya, cinta dapat dengan mudah tumbuhnya di antara pekerja sana. Si laki-laki cukup kerasan bergaul dengan muda-mudi (termasuk wanita) yang ada di sana. Oh, tak terkecuali dengan si perempuan, yang walaupun bekerja beda lapangan dengan si laki-laki, menyadari betul keberadaan si laki-laki..

“Tau siapa Cina itu? Yang tinggi putih…” tanya perempuan pada temannya…

“Ohhh… dia bukan cina. Matanya saja sipit. Orang baru dari Jakarta”

“Jakarta?”

“Ya. Entah kenapa ia datang ke sini”

Seperti yang dikatakan, cinta tumbuh dengan mudahnya. Bahkan sebelum si laki dan perempuan mampu mengucapkan kata cinta itu. Dari luar, mereka hanyalah karyawan yang menjalankan tugasnya. Si perempuan dengan kemampuan berhitung tanpa melihat dan si laki-laki dengan bahu kokohnya. Semua terlihat normal. Tetapi dalam hati? Bisa jadi timbul rasa penasaran satu sama lain.

Dan rasa penasaran inilah yang memulai kisah hidup seseorang

Perpisahan

Selang setahun-dua tahun, Busana tutup. Para pekerjanya kelimpangan. Entah harus ke mana mereka mencari pengharapan berikutnya. Bagi si perempuan, pengharapan itu lebih mudah dicari. Ia sudah cukup kenal Batam dan setidaknya tahu tempat lain yang kurang lebih butuh bantuannya. Maka ke sanalah ia berangkat. Meninggalkan kawan-kawan lama, kenangan, dan si laki-laki.

Si laki-laki sendiri? Ia berpikir untuk pulang ke Jakarta. Sudah cukup lama berada di pulau kecil itu dan sudah saatnya menyalami tangan ibu tercinta. Bersamanya masih tersimpan gaji pertamanya untuk disertakan ke ayah-ibunya. Ia cukup yakin kedua orang tuanya itu akan kaget dengan apa yang ia bawa. Ia juga menyimpan banyak cerita untuk disampaikan. Tentang pengalaman kerjanya, tentang panas yang mesti ia dera di pulau kecil itu, dan mungkin sedikit tentang perempuan.

Apa yang benar-benar akan mereka lakukan setelah ini? Apa ini artinya mereka akan berpisah satu sama lain? Sejauh apa sebenarnya orang-orang di Busana mengenal satu sama lain dan adakah kemungkinan untuk menjaga hubungan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu tetap tinggal tak terjawab sampai  beberapa lama setelah perusahaan konveksi itu tutup. Si laki-laki, si perempuan, Busana, dan puluhan figuran lain berpisah.

Si Laki-laki dan Si Perempuan Bertemu (2)

Pada akhirnya kembalinya si laki-laki ke Jakarta tak ubahnya suatu liburan. Kedua orang tuanya senang ia sehat, memberinya makan banyak juga waktu luang untuk dihabiskan. Meski begitu, ia sadar betul kalau ia adalah laki-laki dewasa. Berada di rumah dan tak melakukan apa-apa? Lebih baik ia kembali ke tumpukan kain di tanah gersang itu daripada menjadi beban. Dan benar saja. Itulah yang ia lakukan. Ia benar-benar memutuskan untuk kembali ke Batam meski ia tahu harus kembali dari nol saat kembali ke sana. Busana sudah tutup. Tapi ia tahu beberapa orang yang hidup di Batam, turut terhitung si perempuan.

Bagi si perempuan sendiri, pekerjaan baru yang dinanti tak kunjung wujud. Penolakan demi penolakan yang ia dera seakan sudah terjadwal. Namun, kata sabar sudah permanen tertulis dalam kamusnya. Kesabaran yang tetap ada hingga berpuluh tahun sesudahnya. Kesabaran itu pula yang membuat ia kaget, tak menduga ia  dapat melihat kembali si laki-laki di hadapannya. Si laki-laki yang dulu dikenalnya dan disyukurinya kini muncul lagi. Ia pikir betapa kebetulan yang indah.

Mungkin saat itu ia tidak tahu. Itu bukanlah kebetulan. Semua sudah tertulis.

Tak berapa lama sejak itu…

Semua berjalan dengan mudahnya. Mereka saling cinta. Mungkin sudah sejak saat mereka berada di Busana. Mungkin sejak si laki-laki mengintip ke belakang meja serta kalkulator si perempuan. Atau mungkin sejak si perempuan mengira si laki-laki itu seorang cina tulen. Maka menurutmu apa lagi yang terjadi? Setelah saling bertukar notes, berhadapan menyantap nasi goreng, hingga bersama menonton Jurassic Park, si laki-laki akhirnya melamar si perempuan. Dan jelas si perempuan tidak menolak. Seandainya ditolak, saya tidak akan menulis sepanjang ini.

Lebih parah. Saya tidak akan lahir.


Hmm… oke. Hasilnya di luar dugaan. Salah sebenarnya menulis judul autobiografi. Yang jadi ini malah semacam cerita picisan. Ah sudahlah… Dalam beberapa detik kemudian, kalian akan lupa semua cerita di halaman ini… 1.. 2.. 3.. Poof!

51 thoughts on “Pra Lahir

    1. Tidur sudah nak.. Padahal sengaja dipost jam2 segini haha
      Yang lucu, dalam keluargaku cerita2 gini nggak pernah diceritain buka-bukaan. Si laki-laki cerita pas lagi nggak ada si perempuan, begitupun sebaliknya 😂😂😂. Anaknya yang dengerin berasa jadi intel

      Liked by 3 people

      1. Sayangnya semalam aku masih melek 😂
        Ih kok sama! Persis abah umi juga! Dua-duanya sama-sama cerita kalau pasangannya lebih dulu jatuh cinta ketimbang dirinya, sebegitu besarnyakah gengsi untuk bilang cinta lebih dulu? 😂😂😂
        Asyiknya denger cerita begitu, bikin ngakak ya kak 😂

        Liked by 2 people

      1. Hahahaha 😂😂
        Sadarilah aktor-aktris pendamping utama di sekitar Bang Ical. Jangan2 mereka telah menjadikan Bang Ical sebagai aktor utama. Jangan2 banyak dari mereka perempuan 😂👍🏼

        Liked by 1 person

  1. Membaca ini seperti memutar sebuah film tahun-tahun dulu. Kemudian ketika di ujung paragraf sontak mulutku bergumam.. “yaah, habis, bersambung…”

    Aaak..keren Mas Fadel.. intel yang rapi sekali membukukan kisah kedua orang tuanya. 😆

    Liked by 2 people

    1. Haha.. Bukan Destin. Semoga ceritaku bakal semenarik ini. Semoga disampaikan waktu untuk merasa cerita versiku sendiri! Kamu juga buat cerita versimu dung Des! Kayaknya nggak ada cerita cinta yang nggak menarik yah HAHA

      Liked by 1 person

      1. Masih dalam bentuk kerangka karangan Del, belum jadi cerita utuh 😂😂😂 Aamiin..semoga ceritamu nggak kalah menarik dari abah dan ibumu yaaa.

        Liked by 1 person

  2. Tadinya q kira ini ceritanya mas Fadel mau ngelamar cewek loh.
    Ah trnyata…q trjebak. 😅

    Ceritanya keren mas Fadel, ini bukti bhwa dipisahkan sejauh apapun, kl jodoh ya ktmu juga 😀

    Liked by 2 people

      1. 😂😂😂😂😂

        bukan mas Fadel…kata itu tercipta sblum kenal abang Pungkas.

        Abang Pungkas hanya sahabat dekat, mas Fadel. Hanya itu saja, ga ada yg lain. 😊

        Liked by 1 person

  3. Seperti… Seperti membaca cerpen dgn gaya esai, atau esai gaya cerpen? Wkwkkw btw, ceritanya bagus 😀 aku suka yg ada bau cinta cintanya … Ku tunggu lanjutannya kak!!

    Liked by 1 person

    1. Tiap kali mereka bercerita, entah kenapa bisa ingat banget haha..

      Ini itungannya bukan autobiografi kayaknya deh bang 😂 sedikit melenceng dari niat awal haha

      Liked by 1 person

Leave a comment