Setelah kesekian kalinya pulang pergi antara rumah dan Jakarta, ada beberapa hal yang tentunya saya pelajari. Yang pertama adalah ilmu statistik. Yah, namanya juga kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (ya iyalah -_-) Dan pada 2 semester ke belakang statistik yang saya pelajari mulai diaplikasikan secara intensif ke dalam ilmu ekonomi. Jadi saya juga belajar mikro, makro, bahkan semi ekonomi. Doakan saja saya lancar kuliahnya, terserap ilmunya, dan menjadi lebih berguna dengan ilmu yang saya dapat.
Yang kedua saya belajar ilmu kehidupan. Belajar mengurus diri sendiri, mengenal kejamnya ibukota, sampai mengenal bersosialisasi dan kompetisi dalam masyarakat. Bukannya kita tidak belajar tentang hidup kalau tetap di rumah, hanya saja pengalaman yang saya dapatkan ketika (lumayan) jauh berada dari rumah serasa lebih nyata. Yah mungkin karena sudah hidup sendiri, kemudi hidup kita bisa sebebasnya kita arahkan. Karena itu yang memegang tanggung jawab terhadap diri kita, termasuk hidup-matinya kita ya diri sendiri. Di situ yang saya rasa membuat pelajaran hidup menjadi lebih hidup
Yang baru saya sadari, saya ternyata juga belajar ilmu rindu. Yaitu ketika kita jauh dari seseorang atau sesuatu dan ingin segera bertemu. Belakangan ilmu rindu ini saya aplikasikan ke dalam tulisan. Di tulisan ini dan puisi abal2 yang saya cipta. Maksud saya menuliskan rindu adalah untuk sedikit meredakan rasa ingin menjumpa yang sudah menggila. Eh tak dinyana rindu malah semakin menjadi-jadi. Ilmu dan teori tentang perjumpaan dan perpisahan perlahan-lahan mulai saya kuasai. Memang belum paham betul, tetapi dengan terus pergi dan pulang saya dari rumah, saya terus belajar. Bahkan saya punya teori sendiri mengenai rindu…
Rindu itu sama dengan kebelet pipis
Semakin dekat dengan toilet (perjumpaan), rasa itu semakin tak tertahankan
Pada saat kita kebelet pipis (BAB juga berlaku), kebanyakan dari kita pasti melesat mencari toilet. Kalau masih jauh sih mungkin masih bisa tahan. Pertahanan kita masih bagus. Tetapi coba ketika toiletnya sudah terlihat. Atau ketika pintu toiletnya sudah berada di genggaman tangan kita. Sulit sekali menahan gejolaknya. Serasa bendungan mau runtuh. Pada saat-saat seperti ini kita berada dalam titik pertahanan paling lemah.
Persis dengan rindu. Persis dengan apa yang saya rasa sekarang -_-
Sebentar lagi saya pulkam ke Batam (yay!), dan yang ada di pikiran saya sekarang cuma rumah rumah rumah. Semakin saya sadar kalau sebentar lagi saya pulang, rindu itu semakin mengamuk. Kangennya nggak nahan cuy. Nggak cuma pas mau pulang. Sewaktu baru sampai di tempat tujuan yang jauh juga sama. Rasa rindu tebal menjiplak. Lalu waktu terus berjalan. Selang sebulan-dua bulan rindunya makin reda dan reda sampai akhirnya bisa nggak ingat sama sekali dengan rumah. Rindu akut kembali mengunjungi di saat kita mau pulang. Rindu yang sangat akut #suaradalam
Jadi inget pengalaman ke Batam dulu, seru.
LikeLike
Ayo main ke Batam lagi mba 🙂
LikeLike
belum pernah ke batam
LikeLike
Batam nggak kalah sama Bayah kok mba Win. Ayo main 🙂
LikeLike
Sama seperti dendam, rindu harus dibalaskan..
LikeLiked by 1 person
Widih perumpamaannya serem banget mba wkwk
LikeLiked by 1 person
saya juga punya teori, untuk mengalihkan kebelet -panggilan alam yg kau sebutkan tadi- (rindu) bisa pegang erat ‘batu’
LikeLiked by 1 person
Hmm… boleh juga mas Fatoni *manggut2
LikeLike
buat anak rantauan, masakan ibu bikin nggak mau balik lagi ke kosan 😀
LikeLiked by 1 person
Emang Mba Sekar yang paling mengerti. Alhamdulillah sekarang bisa makan lagi. Bisa nambah pula
LikeLike
wkwk yang namanya tangan ibu emang ajaib ya. mulai dari masakan sampe bikin anaknya merasa sehat pas lagi sakit. happy birrul walidain selama di rumah ya fadel! 😀
LikeLike
Rindu semakin ditahan semakin menggebu
LikeLike
Bener banget… Seperti kebelet juga. Semakin ditahan semakin mudah lepas
LikeLike
ini sih namanya mbok-mbok’en haha.
salam..
LikeLiked by 1 person
Apaan itu mas wkwk
LikeLike
Artinya masih lengket sama orang tua
LikeLike